Monday, November 26, 2007

STARBUCKS
Media, Budaya, dan Globalisasi











Starbucks adalah sebuah jaringan kedai kopi
dari Amerika Serikat yang dikenal sebagai tempat bersosialisasi terutama bagi masyarakat urban.

Perusahaan ini berpusat di Seattle, Washington dan namanya diambil dari nama salah satu karakter di novel Moby-Dick dengan logo seorang siren. Pada januari 2005, Starbucks memiliki 8.949 gerai di seluruh dunia dengan rincian 6.376 gerai di AS dan 2.573 gerai di negara lain. Starbucks Coffee pertama kali dibuka pada 1971di Seattle oleh Jerry Baldwin, Zev Siegel, dan Gordon Bowker. Howard Schultz bergabung dengan perusahaan ini pada 1982 dan terinspirasikan oleh bar espresso di Italia, membuka jaringan Il Giornale pada 1985.Beberapa saat setelah pemilik aslinya membeli Peet's Coffee an Tea, Starbucks dijual pada Howard yang kemudian mengganti nama Il Giornale dengan nama Starbucks pada1987. Starbucks pertama kali membuka gerai di Vancouver dan Chicago pada 1987 sedangkan cabang pertama di luar Amerika Utara terletak di Tokyo, Jepang yang dibuka pada 1996. Sekarang, Starbucks sudah berada di 30 negara lain.1


Starbucks ada di beberapa kota di Indonesia (hak waralabanya dipegang oleh Mitra Adi Perkasa Di Indonesia, Starbucks bersaing dengan jaringan kafe dari AS lainnya, Coffe Bean, Gloria Jeam's (Kanada). dan Excelso (jaringan kafe lokal)

Di berbagai tempat di Amerika Serikat sejumlah gerai Starbucks telah menjadi sasaran serangan sejumlah pihak yang berpendapat bahwa perusahaan ini menjadi bagian dari homogenisasi kebudayaan Amerika dan arus globalisasi yang melanda dunia. Bentuk serangan berbeda-beda, dari corat-coret di dinding, penuangan lem pada kunci pintu dan jendela gerai untuk mempersulit orang masuk atau mengotori jendelanya, hingga pemasangan surat pemberitahuan dengan kop surat palsu Starbucks yang isinya mengumumkan dengan penuh penyesalan tentang ditutupnya ribuan gerai di seluruh dunia.

Berdasarkan teori Frankfurt School yang telah dibahas sebelumnya, Starbucks merupakan produk dari industri budaya yang diciptakan oleh kaum kapitalis. Kini, banyak orang lebih menikmati secangkir kopi dengan harga lebih dari Rp 30.000 di tempat yang didesain sedemikian rupa daripada secangkir kopi buatan sendiri. Apalagi, jika kopi yang dinikmatinya memiliki merk ternama seperti Starbucks. Ini disebabkan oleh semakin besar pengorbanan yang dikeluarkan untuk mendapatkan suatu barang, maka semakin tinggi pula nilai barang tersebut. Dalam kaitannya dengan kapitalisme, asas pertukaran akan selalu mendominasi asas manfaat karena ekonomi kapitalis yang berputar-putar di sekitar produksi, pemasaran, dan konsumsi komoditas akan selalu mendominasi kebutuhan-kebutuhan riil manusia. Komoditas-komoditas itu jadi ternoda oleh fetisisme komoditas, dan didominasi oleh asas manfaat, sebagaimana didefinisikan dan direalisasikan oleh media uang. Asas pertukaran mengaburkan sekaligus mendominasi asas manfaat. Pemahaman seperti inilah yang digunakan oleh industri budaya untuk meraih keuntungan yang maksimal.

Saat saya minum di Starbucks sebenarnya saya tidak beli kopinya tapi saya beli gengsinya. Suasana yang cozy, Interior yang modern, mesin pembuat kopi modern, pelayanan pun sangat cepat, asik, dan elegan. Ternyata emang beda banget dengan warungkopi mbak sari dekat kosan, di Starbuck ini saya berasa langsung dinobatkan menjadi orang kaya, bisa lendhotan dengan penuh gaya di sofa, ngobrol cika ciki hahaha hihihi, mringas mringis sambil sesekali mata tamasya kesana kemari (walah!..:). Minum kopi di Starbucks adalah sebuah urban life style.1


Kutipan di atas merupakan salah satu contoh yang menunjukkan bahwa ia tidak lagi menikmati kopi sesuai dengan manfaatnya, tapi lebih memuja pada pertukarannya, sehingga asas pertukaran itu bisa menyamarkan dirinya sebagai ”objek kenikmatan”. Seringkali penikmat Starbucks hanya menjadi korban fetisisme komoditas dimana relasi sosial dan apresiasi budaya diobjektivikasi dalam pengertian uang. Konotasi yang muncul dari Starbucks dapat dihubungkan dengan daya beli, selera dan gaya hidup.

Image tentang Starbucks dibentuk oleh media massa. Media massa jelas berperan dalam pembentukan budaya populer, seperti budaya ngopi dan Starbucks. Di berbagai media cetak seperti majalah-majalah gaya hidup, sering dtampilkan foto-foto selebritis, terutama selebritis dari Amerika Serikat, yang dalam kesehariannya sedang menikmati kopi merk Starbucks. Di berbagai film produksi Amerika Serikat juga sering menampilkan adegan dimana tokoh dalam film tersebut membeli sarapan dan ngopi di gerai Starbucks. Melalui tampilan di media ini, maka muncullah image bahwa ”Starbucks adalah minuman berkelas” sehingga orang yang menikmatinya juga merasakan bahwa seolah-olah mereka adalah orang yang berkelas.

Sesungguhnya, kebutuhan orang akan kopi Starbucks adalah kebutuhan palsu yang sengaja dibentuk oleh industri budaya. Industri budaya membentuk selera dan kecenderungan massa, sehingga mencetak kesadaran mereka dengan cara menanamkan keinginan mereka atas kebutuhan-kebutuhan palsu. Oleh karena itu, industri budaya berusaha mengesampingkan kebutuhan-kebutuhan sejati. Industri budaya sangat efektif dalam menjalankan hal ini hingga orang sampai tak menyadari apa yang tengah terjadi.

Industri budaya membentuk selera dan kecenderungan massa, sehingga mencetak kesadaran mereka dengan cara menanamkan keinginan mereka atas kebutuhan-kebutuhan palsu. Saat ini, banyak yang merasa bahwa mereka harus memenuhi gaya hidup mereka. Tapi sesungguhnya ini terjadi karena selera massa telah dibentuk sedemikan rupa agar sesuai dengan tujuan kapitalis. Adorno memandang budaya massa sebagai sesuatu yang dibebankan pada massa dan yang membuat mereka bersiap menyambutnya asalkan mereka tidak menyadarinya sebagai sesuatu beban. (Strinati, 2004:69).

Melihat banyaknya gerai Starbucks yang telah tersebar di seluruh dunia, yakni sebanyak 8.949 gerai2, dapat dikatakan bahwa Starbucks bersifat tahan lama karena didasarkan pada kemakmuran dan konsumerisme dan bentuk-bentuk kontrol sosial. Ia mampu melahirkan tingkat kesejahteraan ekonomi yang semakin tinggi bagi sebagian besar populasi termasuk kelas pekerjanya. “We're proud to be on the list. We're proud to be among FORTUNE's 100 Best Places to Work3. Starbucks menjadi nominasi dari 100 tempat terbaik untuk bekerja. Hal ini dikarenakan Starbucks dianggap mampu meningkatkan kesejahteraan pekerjanya. Kelas pekerja merasa aman secara finansial, bisa membeli banyak barang yang mereka inginkan atau mereka pikir mereka inginkan. Saat ini jumlah pekerja Starbucks 147.436 orang, dengan revenue tahun 2006 mencapai 7,786 miliar dollar AS.4 Ini membuat Starbucks semakin berkembang dan sangat sulit untuk diruntuhkan.

Memang banyak banget varian yang ditawarkan. Tapi tenang saja, barista (pembuat kopi) kami selalu siap membantu, "ujar Marketing Manager Starbucks Farah Milda saat ditemui di peluncuran kedai kopi drive thru kedua Starbucks di km 13 tol Jakarta-Merak, Tangerang, beberapa waktu lalu. Menu di Starbucks, menurut Farah, bisa mencapai 85 ribu jenis. Bahkan bisa lebih jika mengikuti kemauan para pelanggan yang mau meramu sendiri (customization option). Starbucks dikenal sebagai salah satu kedai kopi yang selalu mencoba memberi inovasi baru terhadap rasa kopi. Sekitar enam minggu sekali selalu dimunculkan kreasi-kreasi anyar. 5

Starbucks mencoba menganuerahkan suatu rasa individualitas. Dalam artian bahwa kopi yang mereka konsumsi adalah kopi yang unik dan pas dengan mereka. Ditambah lagi pelanggan dapat meracik kopi mereka sendiri, sehingga rasa keterikatan terhadap merk semakin tinggi. Perekatan individualitas pada produk ini dan juga pada setiap konsumen berfungsi untuk mengaburkan standardisasi dan manipulasi kesadaran yang dibuktikan oleh industri budaya. Ini berarti bahwa semakin banyak produk kultural yang benar-benar distandardisasikan, semakin banyak pula yang diindividualisasikan. Individualisasi merupakan sebuah proses ideologis yang menyembunyikan proses standardisasi.

Kehadiran Starbucks tampaknya mendorong kebiasaan ngopi di kafe menjadi sebuah kecenderungan. Apa yang menyebabkan hal ini menjadi sebuah tren adalah strategi Starbucks.

Scott Bedburry, wakil presiden Starbucks yang dikutip dalam buku No Logo karangan Naomi Klein mengatakan, ”Pelanggan tidak sepenuhnya percaya bahwa ada perbedaan yang besar diantara produk-produk," karena itu merek harus [mampu] membangun hubungan emosional dengan para pelanggan".6

Melalui media massa, beragam budaya yang jauh menjadi mudah di akses sebagai tanda dan komoditas. Pola-pola pergerakan dan perpindahan populasi yang terbentuk pada era kolonialisme dan kelanjutannya bersama dengan percepatan globalisasi yang lebih kontemporer telah mengakibatkan perjumpaan dan percampuran budaya. (Barker, 2005: 152). Starbucks yang pada awalnya hanya berada di Amerika Serikat, kini, dengan adanya globalisasi menjadi tersebar dan dikenal di seluruh penjuru dunia. ”Ngopi” kini diadopsi dan dijadikan sebagai sebuah gaya hidup.

1 www.warungkopiku.blogspot.com

2 www.id.wikipedia.org

3 www.starbucks.com

4 www.kolomblogadhiksp.blogspot.com

5 www.mediaindonesia.com

6 www.spew-it-all.blogspot.com